FSM 2023

Home / FSM 2023

Ngadulur Jeung Kultur

FSM 2023

Luhurna bangsa urang eta ayana dina kabudayaan. Jalan kabudayaan, jalan anu bakal mawa kana karahayuan, kana ka makmuran anu pohara. Kamakmuran anu bakal netes ka handap. Bentukna pagawean jeung layanan masyarakat. Hingga akhirna sakabeh masyarakat bisa kacukupan kabutuhanna. Sehat jeung sajahtera.

Memang, kabudayaan kadang-kadang sok diartikeun sempit ngan saukur kesenian. Tangtu eta teu sakabehna salah. Kesenian eta unsur kabudayaan anu penting. Tapi, lamun urang ngomong kabudayaan dina pengertian anu leuwih jero, maka sabenerna eta ngalingkup sakabeh nilai jeung gagasan, warisan jeung adat istiadat anu diturunkeun ti hiji generasi ka generasi lainna. Sakabehna eta mangrupa sumber daya kabudayaan anu bisa dipake pikeun kahirupan urang ka hareup. Tapi tangtu lain urang kudu niru naon anu geus dipraktekeun ku kokolot urang baheula.

Loba contoh nilai jeung gagasan, praktek jeung adat istiadat anu meureun geus teu sesuai jeung masa kiwari. Urang perlu pembaruan, inovasi, jeung modifikasi berbagai kakayaan budaya sahingga sesuai jeung masa ayeuna. Tapi penting kuurang diinget, sakabeh praktek jeung adat istiadat anu kuurang ditarima ti kolot geus kauji ku waktu, teu perlu diuji deui mun hayang nyaho kaampuhannana, daya tahanna, sagala pamikiran, praktek jeung produk kabudayaan urang. Akhirna, kuurang kudud diyakini ngajaga kabudayaan sarua jeung ngajaga nagara. Tah eta intisari tina hirup jeung kabudayaan. Ngadulur jeung kultur tea.

Festival Seni Multatuli (FSM) adalah satu-satunya festival terbesar di Provinsi Banten, yang telah berlangsung sejak tahun 2018 di kota Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Dalam setiap penyelenggarannya, FSM mengusung narasi kemanusiaan sebagaimana nilai dan semangat yang terkandung dalam novel Max Havelaar karya Multatuli. “Tugas manusia adalah menjadi manusia,” demikian tulis Multatuli. Bersamaan dengan itu, FSM juga mengetengahkan nilai-nilai luhur dari khasanah kebudayaan lokal yang terepresentasi dalam berbagai bentuk ekspresi dan estetika, seperti kesenian tradisional dan pengetahuan lokal. Sebab sebuah narasi bukan hanya dapat dibaca secara struktural, melainkan juga mesti didekati secara kultural. Maka, FSM memosisikan khasanah kebudayaan daerah sebagai titik pijak dalam merancang dan menggelar berbagai programnya, baik dalam bentuk pertunjukan, penciptaan, maupun pengkajian.

FSM 2023 mengusung tema “Dari yang Kultur dan Menghibur” yang dimaknai sebagai upaya menggali dan mendekati tinggalan kebudayaan masa lampau serta menampilkan berbagai kesenian daerah yang dapat menghibur. Tema tersebut sekaligus juga merujuk pada seekor hewan: Kerbau.

Kerbau dan petani dua hal pokok yang diungkap oleh Multatuli dalam Max Havelaar. Melalui kerbau dan petani Multatuli membuka kedok busuknya praktik kolonialisme yang berlangsung di tanah jajahannya. Kerbau dan petani serta nasibnya menjadi penting untuk diangkat dalam Festival Seni Multatuli 2023.

Kerbau dan karnaval kerbau yang dimiliki oleh petani masa sekarang tentu berbeda dengan masa sewaktu Multatuli bertugas di Lebak tahun 1856. Kerbau yang ditampilkan dalam FSM 2023 adalah kerbau yang ada di sekitar Rangkasbitung, Lebak umumnya yang telah disurvei terlebih dahulu.

Kerbau yang dibawa ke karnaval akan diceritakan asal-usulnya oleh petani pemiliknya. Kerbau yang terbesar badannya, terpanjang tanduknya, terkuat tenaganya yang akan mengikuti karnaval, misalnya. Petani akan menceritakan hal tersebut di panggung karnaval. Mengapa kerbaunya menjadi yang terberat bobotnya, terpanjang tanduknya, terkuat tenaganya.

Multatuli melalui karyanya yang ditulis selama masa-masa sulit itu menguak tabir nasib tragis sebidang bumi yang dijajah agar diketahui masyarakat Belanda dan Eropa. Salah satu bagian dalam Max Havelaar yang sering dikupas hingga saat ini adalah Saidjah dan Adinda, yang dengan jernih menggambarkan kondisi rakyat Hindia Belanda pada masa itu:

Waktu kerbau ini dirampas kepala distrik Parang Kudjang, ia sangat berdukatjita, berkata-kata ia tak suka, sampai berhari-hari lamaja. Karena, waktu meluku sudah tiba, dan alangkah menakutkan kalau sawah tak tergarap pada musimnja, sampai nanti musim menyebar benihpun lewat berlalu, dan achirnja tiada sebatang padipun bakal ditunai buat disimpan di dalam lumbung.

Maka diambil olehnja sebilah keris pusaka peninggalan ajahnja. Tidak begitu indah memang, tapi ada pengikat-pengikat perak melingkari sarungnja, dan selembar perak terhias pada udjungnja. Didjualnja keris pusaka itu pada seorang Tionghoa jang tinggal diibukota distrik, dan kembali ia pulang membawa dua puluh enpat rupiah, dan dengannja ia beli kerbau baru.

Saidjah telah meningkat sembilan tahun, dan Adinda enam tahun mendjelang kerbau baru ajah Saidjah dirampas lagi oleh kepala distrik Prang Kudjang.

Ajah Saidjah jang sangat miskin, kini mendjual sepasang sangkutan klambu dari perak kepada seorang Tionghoa; sangkutan klambu pusaka peninggalan orang tua istrinja, delapan belas rupiah. Dan dengan itu dibelinja kerbau baru. (Max Havelaar, 1972)

Kondisi penduduk pribumi begitu miskin. Harta mereka dirampas penjajah, kemerdekaan pun tiada akibat belenggu kolonialisme yang mengikat kuat kebebasan mereka. Keluarga Saidjah tak mampu lagi membeli kerbau baru karena harta sudah dirampok tangan-tangan kolonial. Tak ada alat untuk membajak; tanah pun terlantar. Artinya, kemiskinan semakin merantai. Penderitaan semakin menujam.

Lewat Max Havelaar, Multatuli menggugat kondisi tersebut. Ia menentang praktek-praktek busuk kolonial. Lewat karya sastra ia berhasil menggoncang negeri Belanda, membangunkan orang-orang sebangsanya yang tidak peduli pada kondisi tanah jajahan; bahwa mereka hidup di atas kesengsaraan bangsa lain. Gugatannya begitu menggores tajam. Suaranya menusuk jantung kemanusiaan. Publik pun terpikat dan mulai berpikir tentang negeri yang telah memberi kemewahan kepada mereka.

Sekali lagi, ini bukan soal kekuasaan, bukan pula pengagungan apalagi kultus kekuasaan yang harus disembah-sembah. Sejak roman Max Havelaar terbit pertama kali di Belanda tahun 1860, Lebak menjadi perbincangan dan pertikaian kaum kolonial (dan para pemburu rente) di daratan Eropa. Tapi lagi-lagi, ini bukanlah soal pertikaian yang akan diuraikan kemudian. Meskipun, Festival Seni Multatuli (FSM) digagas salah satunya diletupkan dari katup yang mengobarkan semangat antikoloniallisme yang lahir dari roman Max Havelaar, yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai roman yang membunuh kolonialisme. Pun soal keprihatinan kaum inlander (bumi putera) yang terjajah dan teraniaya di tanah kelahirannya sendiri, dalam kacamata seorang “oknum” kolonial Belanda seperti Multatuli.

Akar keprihatinan itu–nilai-nilai luhur budaya Lebak yang kaya dengan ajaran dan pikukuh parasepuh semakin terkikis oleh kemajuan teknologi–menjadi arus utama dari perhelatan tahunan di Kabupaten Lebak yang sejak 2018 lalu terlibat dalam program platform Indonesiana (Kemdikbudristek) dan pada tahun ini dalam platform Karisma Even Nusantara (KEN); semacam model kemitraan antara Pemerintah Pusat (yang direpresentasikan oleh inisiatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kemenparekraf RI) dan Pemerintah Daerah (yang direpresentasikan oleh pihak dinas bernomenklatur kebudayaan, saat ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak).

Jika “Narasi sebagai Aset” menjadi tema pada FSM 2018, sedangkan FSM 2019 bertema “Kopi dan Seni”. Tahun 2020 Indonesia dikacaukan Pandemi Covid-19, akibatnya FSM tidak bisa diselenggarakan, tahun 2021 mengambil tema “Tunggul Buhun”, tahun 2022 “Sora Karuhun”, dan baru pada tahun 2023 ini mengambil tema “Dari yang Kultur dan Menghibur” .

Sebagai tema, Dari yang Kultur dan Menghibur seakan ingin menyampaikan pesan, meskipun pohon kebudayaan (baca: kultur) yang rimbun dan asri sudah jarang terlihat, selain dahan dan ranting-ranting yang berserakan di beberapa distrik tertentu dimana masyarakatnya masih memegang tradisi dan melaksanakannya dalam praktik hidup sehari-hari. Sesungguhnya, akar budaya masyarakat Lebak masih sangat kuat. Juga kita ingin menampilkan sesuatu yang membuat warga terhibur dengan berbagai tampilan kesenian. Dengan demikian FSM 2023 bermaksud meneguhkan kembali nilai-nilai luhur yang tertanam untuk ditampilkan dalam perhelatan berbagai peristiwa seni-budaya yang membuat warga bahagia. Bukankah tugas dari cita-cita luhur kebudayaan kita adalah Indonesia Bahagia.

Jika Dari yang Kultur dan Menghibur sebagai tema, maka Kerbau menjadi ikon FSM 2023.