Tunggul Buhun, Angklung, dan Hal-hal Lain Soal Multatuli
Budi Harsoni, Kurator FSM 2021
Ini bukan soal Tunggul Ametung yang dibunuh Ken Arok dengan keris Empu Gandring untuk merebut istrinya, Ken Dedes. Bukan pula soal Anusapati yang menyerahkan keris tersebut kepada Ki Pangalasan untuk membalaskan dendam ayahnya kepada Ken Arok. Terlepas dari persoalan itu, sejak abad ke-13 Masehi silam, sejarah perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari dan sampai saat ini terus berubah wajah seiring semakin mutakhirnya perkembangan zaman.
Sekali lagi, ini bukan soal perebutan kekuasaan, bukan pula pengagungan apalagi kultus kekuasaan yang harus disembah-sembah. Sejak roman Max Havelaar terbit pertama kali di Belanda tahun 1860, Lebak menjadi perbincangan dan pertikaian kaum kolonial (dan para pemburu rente) di daratan Eropa. Tapi lagi-lagi, ini bukanlah soal pertikaian yang akan diuraikan kemudian. Meskipun, Festival Seni Multatuli (FSM) digagas salah satunya diletupkan dari katup yang mengobarkan semangat antikoloniallisme yang lahir dari roman Max Havelaar, yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai roman yang membunuh kolonialisme. Pun soal keprihatinan kaum inlander (bumi putera) yang terjajah dan teraniaya di tanah kelahirannya sendiri, dalam kacamata seorang “oknum” kolonial Belanda seperti Multatuli.
Akar keprihatinan itu – nilai-nilai luhur budaya Lebak yang kaya dengan ajaran dan pikukuh parasepuh semakin terkikis oleh kemajuan teknologi – menjadi arus utama dari perhelatan tahunan di Kabupaten Lebak yang sejak 2018 lalu terlibat dalam program platform Indonesiana; semacam model kemitraan antara Pemerintah Pusat (yang direpresentasikan oleh inisiatif Kemendikbud, kini ditambah Ristek) dan Pemerintah Daerah (yang direpresentasikan oleh pihak dinas bernomenklatur kebudayaan, saat ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak), serta para pekerja seni-budaya sebagai pelaksana kegiatan dalam konsep kerja Gotong Royong Kebudayaan.
Jika “Narasi sebagai Aset” menjadi tema pada FSM 2018, sedangkan FSM 2019 bertema “Kopi dan Seni”. Tahun 2020 Indonesia dikacaukan Pandemi Covid-19, akibatnya FSM tidak bisa diselenggarakan, dan baru pada tahun ini, FSM 2021 mengambil tema “Tunggul Buhun”. Tunggul artinya akar pohon bekas tebangan yang masih tertanam dan buhun artinya tua, ajaran (nilai-nilai) tua. Jika diartikan secara bebas adalah “ajaran tua yang masih tersisa”. Amma ba’du (dan hal-hal lain setelah itu).
Sebagai tema, Tunggul Buhun seakan ingin menyampaikan pesan, meskipun pohon kebudayaan yang rimbun dan asri sudah jarang terlihat, selain dahan dan ranting-ranting yang berserakan di beberapa distrik tertentu dimana masyarakatnya masih memegang tradisi dan melaksanakannya dalam praktik hidup sehari-hari. Sesungguhnya, akar budaya masyarakat Lebak masih sangat kuat. Dengan demikian FSM 2021 bermaksud meneguhkan kembali nilai-nilai luhur yang tertanam untuk diangkat dalam perhelatan berbagai peristiwa seni-budaya yang menjadi rangkaian pertunjukan seni media baru, demi merespon era adaptasi kenormalan baru di tengah pandemi yang belum berakhir.
Virus Corona telah menjadi games changer yang telah mengubah tata permainan dunia dengan segala aspek kehidupannya; sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan banyaknya pembatasan-pembatasan yang diberlakukan, kita seakan kehilangan kebebasan yang kita gandrungi sebelumnya. Namun kerja-kerja kreatif harus diteruskan. Inilah tantangannya, bagaimana Tunggul Buhun menghadapi kondisi seperti saat ini seraya memastikan nilai-nilai luhur yang masih tertancap kuat sebagai pondasi dari tradisi yang selama ini terus dijaga sebagai ruang ekspresi kebersamaan kita. Ruang kesederhanaan yang memegang teguh pikukuh para leluhur; “Lebak teu meunang diruksak, gunung teu meunang dilebur. Nu lojor ulah dipotong, nu pondok ulah disambung. Nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun”.
Jika Tunggul Buhun sebagai tema, maka Angklung Buhun menjadi ikon FSM 2021. Selain sebagai logo Pemerintah Kabupaten Lebak yang memiliki nilai khas (karenanya dislogankan Lebak Unique) bagi masyarakatnya yang sebagian besar masih memegang teguh “tatali paranti karuhun”. Terlebih masyarakat di Desa Kanekes dengan tradisi masyarakat Suku Baduy dan masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul – dua entitas besar masyarakat adat di Kabupaten Lebak yang agraris dan masih menjaga nilai-nilai luhur budaya dan tradisi. Dimana Angklung Buhun menjadi media penting dalam setiap ritual adat pertanian sejak memulai persiapan menanam padi (lebih banyak padi huma) hingga perayaan pesta panen (Seren Taun).
Dalam tradisi masyarakat adat Suku Baduy maupun masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul, suara ritmik Angklung Buhun pada setiap ritual pertanian dipercaya sangat disenangi oleh Sanghiyang Nyi Pohaci atau Dewi Sri atau Dewi Padi. Sedangkan cara memainkannya yang seolah gerakan menimang-timang bayi dalam buaian, diyakini bayi-bayi padi akan tumbuh subur berlipat-lipat jumlahnya hingga diharapkan dapat menghasilkan panen yang berlimpah bagi kesejahteraan hidup masyarakat adat. “Marakbak kekembanganna”.
Hal inilah yang menjadi daya tarik Tim Riset FSM 2021 untuk melakukan penelitian sekaligus mendokumentasikan Angklung Buhun di wilayah Baduy Luar dengan menjadikan Ki Pantun (Juru Pantun masyarakat Baduy) sebagai narasumber utama. Riset mulai dari sejarah, peran dan fungsi, perjalanan sepotong bambu hingga menghasilkan musik magis yang membawa kesuburan. Tahun ini Tim Riset memfokuskan diri pada tradisi Angklung Buhun Baduy dan pada kesempatan tahun depan, riset akan fokus ke masyarakat adat Banten Kidul. Hasil riset ini diabadikan dalam film dokumenter berjudul “Marengo” (artinya air). Dipilih menjadi judul karena air memberikan kehidupan dan kesuburan yang sangat erat kaitannya dengan Nyi Pohaci yang diselaraskan proses pengambilan gambar dan penyuntingannya hingga akhir oleh komunitas @lapik96.
Angklung Buhun digunakan sebagai media ritual adat yang bersifat sakral dalam konteks seni budaya tradisi tidak bisa direkontruksikan dengan hal-hal kontemporer dan kekinian. Ia harus berpegang pada pakem yang baku sebagai aturan yang sudah ditetapkan sejak dulu (buhun). Namun untuk merespon perkembangan zaman yang bersifat profan, FSM 2021 menggelar lokakarya dengan tema Buhunna Sora. Menghadirkan narasumber Dr. Ismet Ruchimat, dosen pasca sarjana ISBI Bandung/ Pimpinan Samba Sunda dan Parwa Rahayu, S.Sen, Praktisi Seni Tradisi. Lokakarya melibatkan 25 seniman muda dari sanggar dan komunitas seni di Lebak. Lokakarya mengaransemen musik angklung buhun yang dikolaborasikan dengan berbagai alat musik modern, dijadwalkan akan tampil dalam sesi penutupan FSM 2021.
Jika yang wajib dari hujan adalah rintik, maka yang wajib dari FSM adalah artistik. Artistik dalam kontek ini adalah sebuah penanda atau seni instalasi yang memikat semua mata tertuju pada perhelatan seni-budaya. Instalasi seni pada FSM 2021 dituangkan dalam konsep “Bubu”. Bubu atau perangkap ikan berukuran raksasa yang dirangkai dari bilah-bilah bambu, dipasang di pintu masuk Museum Multatuli. Bubu menjadi simbol dari perangkap zaman. Pada era pandemi ini kita masuk ke suatu masa, dimana kita dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan segala kondisi yang ada dan karenanya kita tak bisa kembali ke belakang. Kembali pada situasi dimana kita leluasa berkumpul bergembira di ruang terbuka. Namun saat ini jikapun harus berkumpul jumlahnya dibatasi dan mentaati protokol kesehatan secara ketat, dan sikap kita? ya, lemesin aja. Pandemi Covid-19 seperti Bubu yang memerangkap kita masuk ke dalamnya dan tak bisa kembali. No way return, mun ceuk urang kulon.
Istilah Adaptasi Kebiasaan Baru menjadi paradigma berpikir yang mensyaratkan kita meninggalkan kebiasaan lama baik dalam pola kerja maupun perangkat media yang biasa membantu memudahkan proses pekerjaan itu. Dalam seni pertunjukan misalnya, panggung ridging berukuran besar dengan kapasitas sound system yang puluhan ribu watt di masa sekarang ini sudah tidak bisa lagi (sementara?) dipakai. Kita dipaksa memanfaatkan media yang sesuai dengan era pandemi seperti sekarang ini dengan tampilan serba virtual dan tatap maya. Kemudian nilai-nilai Tunggul Buhun terancam mengalami ketercerabutan. Tak ada sentuhan humanisme dan gereget emosi yang terasa pada setiap perlehatan digelar, alih-alih jika berkumpul malah bersyak wasangka jangan-jangan kita terpapar virus corona.
Maka FSM 2021 mencoba menampilkan sepuluh pementasan kesenian dengan format Seni Media Baru. Sebuah istilah yang baru-baru ini bergulir di kalangan pekerja seni-budaya di Lebak seiring persiapan diselenggarakannya FSM 2021. Menjadi sebuah kode baru bagaimana ekspresi berkesenian disiasati agar tetap menghadirkan daya pukau sebagai seni pertunjukan yang berkualitas. Tentu saja, perlengkapan dan properti yang digunakan sudah tidak lagi seperti masa sebelum pandemi, dengan segala tantangan penyesuaian serta ketersediaan alat yang terbatas. Belum lagi memikirkan penonton melalui gawainya, karena ditampilkan secara daring. Ada gamang mengembang di atas kepala para pekerja seni, apakah pertunjukan Seni Media Baru dapat diminati oleh banyak kalangan. Okelah, kita tinggalkan saja keraguan itu. Sepuluh Seni Media Baru menampilkan seluruh genre kesenian; tari, rupa, puisi, monolog, silat, dan musik dihadirkan di atas panggung yang artistiknya digarap oleh rekan-rekan komunitas Teater Guriang. Penampilan sepuluh Seni Media Baru disatukan dengan napas yang sama, yakni hal-hal berkaitan dengan tema Tunggul Buhun.
Tiga program sejak pertama kali FSM digelar tak penah absen; Simposium, Penerbitan Buku, dan Telusur Jejak Multatuli. Tahun ini, Simposium menggagas tema Manis tapi Tragis. Mengundang 15 pemateri hasil seleksi abstrak dan narasumber utama, yakni Saut Situmorang, Kritikus/Sastrawan, Dr. Ari Jogaiswara Adipurwawidjana, MA, Dosen Universitas Padjadjaran, Okky Madasari, Ph.D, Sastrawan, dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta. Sedangkan program Penerbitan Buku menyelenggarakan undangan menulis cerita anak dengan tema Harta Karun dari Tanah Karuhun. Kurator program ini, yaitu: Siti Zahroh, Pegiat Literasi Kabupaten Lebak dan Minhalul Ma’arif, Akademisi Pendidikan Anak. Sementara Telusur Jejak Multatuli dilaksanakan secara virtual dengan menelusuri lokasi-lokasi dalam novel Max Havelaar.
Nah. Dari FSM kita mendapat pengalaman berharga bagaimana novel Max Havelaar terus direinterpretasi oleh para pekerja seni-budaya di pentas kesenian dan tafsir para akademisi tentang hal-hal lain soal Multatuli. Meski sampai saat ini polemik tentangnya masih menyimpan hawa panas, seperti api dalam sekam. Ini membuktikan, bahwa hari ini kita memaknai dunia berdasarkan baik dan buruk dari masa lalu. Dibutuhkan sudut pandang yang bijak untuk memutuskan siapa baik dan siapa tidak baik. Semua dilihat dari sudut pandang siapa yang menentukan (Martin Suryajaya). Dan tentang Tunggul Buhun, ia seperti benteng terakhir yang masih tersisa di tanah para Karuhun, yang jejak-jejaknya semakin pupus jika kita tidak menegaskan kembali jejak-jejak itu. Sebab bagaimanapun, kita hidup di negara tropis dimana segala sesuatunya mudah cepat lapuk dan kemudian dilupakan orang. Apa yang kita lakukan hari ini digerakkan oleh kenangan yang terus kita rawat, seperti bait puisi Goenawan Mohamad berjudul Kwatrin Tentang Sebuah Poci, “Apa yang berharga pada tanah liat ini// selain separuh ilusi?// Sesuatu yang kelak retak// dan kita membikinnya abadi”.
Leave a Reply