PEMBUKAAN FESTIVAL SENI MULTATULI 2021
- Pembukaan Festival Seni Multatuli diawali dengan performing art, tari dan melukisan dengan tema Tunggul Buhun oleh Wawan Sukmana dan Gebar Sasmita.
- Penampilan lagu dari Rijal Mahfud yang merupakan salah satu back sound dalam film dokumenter Marengo yang berjudul “ngasuh”, lagu ini merupakan seruan bunyi untuk bimbingan diri, hantaran pada titik terbaik tata salira yang utuh dan bijaksana. Lagu ngasuh ini merupakan salah satu lagu di kesenian angklung buhun yang di transformasikan kedalam bentuk musik kontemplatif yang sederhana dengan diiringi toleat dalam harmonisasinya. Disini pengkarya merasa jika fungsi lalaguan dalam angklung buhun tidak terbatas hanya untuk kenikmatan estetis saja. Tetapi lebih dari itu, sebagai bentuk pengobatan baik untuk diri secara personal maupun alamnya itu sendiri. “asuh heula awak sorangan, karak asuh dengdeungeunana”.
- Sambutan Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya, dalam sambutannya Bupati menyampaikan bahwa adaptasi kebiasan baru seperti halnya kita memasuki sebuah bubu (alat tangkap ikan tradisional), yang membuat kita semua berbalik mundur kebelakang, bukan untuk sebuah kemunduran, tetapi untuk membangkitkan kesadaran kita bahwa era baru telah berdiri di depan mata untuk kita rayakan bersama-sama. Dan juga sebagai refleksi untuk kita bahwa sejarah harus selalu kita ingat.
- Dilanjut dengan penampilan monolog yang dibawakan oleh Opik Janggot yang berjudul “Kisah Cinta”. Sebuah tafsir bebas kisah Saidjah Adinda dari buku Max Havelaar karya Multatuli. Setiap makhluk memiliki kisah cinta, yang berbeda hanya soal bagaimana cara mewujudkannya. Anugerah cinta yang dimiliki manusia memiliki warna, dan layak untuk diperjuangkan. “indah sungguh indah memang, meskipun berujung pada kematian”.
- Sambutan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, Bapak Imam Rismahayadin. Dalam sambutannya Kadis Budpar menyampaikan bahwa Tunggul Buhun tidak hanya berarti akar tua, namun ia adalah kekuatan yang menyatukan seluruh tradisi budaya, cikal bakal lahirnya sebuah tradisi budaya, yang keberadaannya masih terjaga dan masih dilestarikan oleh dua entitas masyarakat Kabupaten Lebak yaitu Masyarakat Adat Baduy dan Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul. Kata Tunggul Buhun menjadi tema sentral FSM 2021 dengan maksud menjangkarkan kembali seluruh elemen seni budaya di kabupaten Lebak melalui beragam ekspresi kesenian yang ditampilkan secara daring, hal ini merupakan sebuah jawaban yang kita lakukan bersama di situasi masa pandemi yang belum berakhir namun tetap berkarya dan bangkit dari keterpurukan selama ini.
- Penampilan musik dari Band Beranda Rumah, band pop folk asal Rangkasbitung yang berjudul “Nyanyian Multatuli”. Dalam lagu ini, di balik sosok Eduard Douwes Dekker dan ceritanya yang mengagumkan, Beranda Rumah selalu terpesona dengan suasana kota Rangkasbitung tempo dulu. Nyanyian Multatuli merupakan representasi dari interpretasi Beranda Rumah untuk Rangkasbitung pada masa itu. “Di lagu ini kami tidak banyak berbicara mengenai kisah Multatuli secara kompleks, kami hanya mengenang bagaimana Rangkasbitung yang masih segar dan belum banyak pabrik-pabrik berdiri”.
- Pemutaran film dokumenter “Marengo”
Hubungan manusia dan alam merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, di Kabupaten Lebak, masyarakat adat Baduy secara turun temurun dan konsisten hidup berdampingan dan harmonis dengan alam disekitarnya.
Dalam beberapa prosesi ritual yang berhubungan langsung dengan alam seperti ngaseuk dan ngubaran pare, Masyarakat Adat Baduy menggunakan satu alat musik kuno yaitu Angklung Buhun. Hal ini lah yang mendasari Tim riset Bersama Lapik. 94 melakukan penelitian dan pendokumentasian ke masyarakat adat Baduy.
Dari hasil penelusuran tim riset, Angklung Buhun merupakan kesenian tradisional masyarakat Baduy yang digunakan dalam ritual penanaman padi. Kesenian ini bertujuan untuk menghibur Nyi Pohaci. Sebagaimana diketahui, Nyi Pohaci adalah dewi yang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat adat Baduy. Dalam pertunjukannya, angklung dipimpin oleh Jaro Angklung Karasudin, mulai dari lagu ngaseuk sampai lagu hiburannya.
Sementara Marengo dapat diartikan sebagai air. Air yang semakin ke hilir semakin besar, air bisa menyuburkan huma yang kita tanam, huma yang bisa menghidupi manusianya. Lagu marengo menjadi salah satu lagu ritual yang digunakan saat melakukan tradisi ngaseuk.
Selain untuk ritual, Angklung Buhun juga digunakan untuk menghibur masyarakat. Tapi, lagu yang dibawakan tidak sama dengan lagu ritual. Biasanya untuk lagu hiburan ini pemain angklung akan membawakan lagu Ayun-ayunan, Lenggok Lenggang, Lilililang, Ngasuh, dan sebagainya.
Buhun yang berarti tua atau kono, dalam film dokumenter ini kita diajak mengetahui lebih dalam tentang prosesi pembuatan Angklung Buhun sampai dengan lagu yang dibawakan saat prosesi ritual masyarakat adat Baduy.
Leave a Reply