PERTUNJUKAN SENI MEDIA BARU
Muklis Dance Company: Tari Kontemporer “BA(BABALUK)”
Penampilan Babaluk ini merupakan penampilan satu-satunya penampilan tari di dalam rangkaian pertunjukan seni media baru, pada penampilannya, karya ini dibawakan oleh dua penari. Laki-laki diperankan oleh Muhlis yang baru saja tahun ini menamatkan studinya di ISI Yogyakarta. Dan perempuan yang diperankan oleh Inke Firdaus, Mahasiswi UPI Bandung semester 3.
Kepada tim Media FSM 2021 Mukhlis bercerita banyak tentang tentang karyanya ini. “Di sanggar Guriang saya menampilkan sebuah karya tari yang dari rangsang auditif yaitu rangsang dengar yang diangkat dari rangsang beluk yang ada di Banten. Dari rangsang beluk saya menemukan sebuah komunikasi antara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan tuhan. Yang akhirnya saya visualisasikan ke dalam karya tari”.
“BA sendiri diambil dari kata BABALUK, berdasarkan penuturan masyarakat yang bermakna suara yang keras. Ba berarti ikatan sedangkan baluk merupakan varian dari bahasa beluk yang merupakan tembang lagu buhun yang suaranya dikencangkan (lengking)”. Dua bulan merupakan waktu yang dibutuhkan bagi Mukhlis dan Inke untuk mempersiapkan penampilannya ini.
Menggunakan dua penari laki-laki dan perempuan. Menurut Mukhlis karena laki-laki dan perempuan satu sama lain tidak bisa dipisahkan. “Seperti halnya Yin dan Yang, konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain melalui karakter masing-masing”.
Penampilan tari ini sendiri dibagi menjadi empat adegan. Adegan pertama menjelaskan pemahaman diri masing masing sebelum memahami hubungan manusia dan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan tuhan. Adegan kedua menjelaskan tentang bentuk komunikasi antara manusia dan alam. Adegan ketiga menjelaskan hubungan manusia dan manusia dan terakhir adegan empat menjelaskan tentang hubungan manusia dengan tuhan.
Dipilihnya set panggung alam, Mukhlis memiliki alasan sendiri. Baginya, ia ingin mengembalikan konsep panggung tempo dulu yang setiap penonton bebas menonton di mana saja, bukan panggung procenium yang dilihat satu arah mata penonton.
Dari karyanya ini Mukhlis coba menggairahkan hasrat untuk mengenal diri serta memahami esensi kehidupan yang hubungannya erat dengan semesta dan pencipta.
Edi Bonetski: Performing Art
“Setiap tempat memiliki kebaruan”. tanpa mengkonsep akan seperti apa karyanya sebelum ke lokasi pertunjukan, Edi justru secara menakjubkan menciptakan karya secara spontan melalui instrumen benda-benda dan juga berinteraksi dengan lingkungan sekitar pertunjukan, dengan mengkoneksikan antara benda, keadaan sekitar dan dirinya untuk menjadi bagian dari karyanya, sehingga tercipta lah sebuah karya baru melalui teknik lukisan abstrak.
Seri I “Kedatangan”
Lokasi : Stasiun Kereta Api Rangkasbitung
Pada Seri I ini Edi Bonetski menggambar 2 lukisan yang dua-duanya memiliki tema tentang kedatangan, ini merupakan salah satu alasan kenapa stasiun kereta api Rangkasbitung dipilih sebagai lokasi pada seri pertama pertunjukannya. Pada lukisan pertamanya, Edi menggambarkan momen sejarah ketika Presiden Pertama Republik Indonesia, yaitu Bung Karno berkunjung ke kota Rangkasbitung pada tahun 1950.
Di dalam karyanya yang kedua, Edi Bonetski menggambarkan momen kedatangan seorang manusia ke dunia di tahun 1820. Yang mana kelak, ia berperan membukakan mata dunia lewat bukunya memotret tentang penderitaan di Lebak.
Seri II “Suatu Ketika Yang Lalu”
Lokasi: Musium Multatuli
Pada performing art di seri kedua yang berlokasi di pedestrian depan museum multatuli, Edi Bonetski coba bereksplorasi dengan lingkungan sekitar lokasi perform. Pada saat mengeksplor lokasi, ia bertemu dengan muda-mudi yang sedang duduk berteduh sambil memakan buah melon. Tak lama muda-mudi itu pergi, Edi Bonetski menggunakan cangkang buah melon yang ditinggalkan menjadi kuas untuk menyapu tinta di atas karyanya di Seri II ini, dalam karya yang pertama, Edi menggambarkan rentetan tahun 1825 menggambarkan perang Diponegoro, 1908 Boedi Oetomo, 1928 Sumpah Pemuda, 1945 Kemerdekaan Indonesia, 1965 Peristiwa kelam 30 September, 1998 tentang kekacauan besar di Indonesia akibat krisis dan kerusuhan, dan juga reformasi di pemerintahan Indonesia, dan tahun 2000 sebagai tahun dimana Provinsi Banten terbentuk.
“Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Revolusi Bertapi Bukan Berapi” narasi yang disisipkan pada karya pertama di Seri II ini Edi Bonetski coba memaknainya sebagai media kita untuk merawat ingatan kita terhadap sejarah-sejarah yang ada di Republik Indonesia.
Seri III “Perjuangan”
Lokasi: Jalan Multatuli
Menggunakan tubuh Reo Zaeni atau biasa dikenal dengan Hio Momonon, Edi coba menggambarkan siluet tubuh Hio dengan pose mengangkat tangan, dengan menambahkan warna merah di sebagian besar media lukisnya, Edi Bonetski seperti coba menyampaikan tangkapan visual di lokasi perform Seri III ini berhubungan dengan perjuangan, jalan multatuli sebagai jalan protokol di kota Rangkasbitung, bukan lagi sebagai urat nadi kota, lebih dari itu sebagai pembuluh arteri yang bertugas mengalirkan seluruh roda kehidupan dari jantung kota ke seluruh sudut tubuh kota Rangkasbitung.
“Jalan Multatuli di siang yang merah, lapar spiritual, haus ideologi, ngacengnya biologis”
Ekspresi dari suara rakyat-rakyat kecil. Semangat TUNGGUL BUHUN yang ia temukan pada Bapak tukang becak yang mangkal di jalan multatuli siang itu.
Seri IV “Refleksi”
Lokasi: Teater Guriang
“NOTASI SEJARAH”
“INTONASI SEARAH”
Sejarah seperti lagu yang memiliki ritme, tanpa dijalani dengan notasi, hanya akan menjadi intonasi searah.
Mengutip dari ucapan Edi Bonetski bahwa:
Ketidaksadaran yang tidak diketahui publik akan menciptakan kesadaran baru
Leave a Reply